06 September 2010

Ibu Eboni pada Satu Senja

Dia masih berdiri tegar disitu.

Berpandang-pandangan dengan Eboni kami. Ini satu ritual tiap senja,

Nyaris setiap hari kami mengunjungi Ibu Eboni Diospyros.



Ibu Eboni Diospyros slalu menyediakan rumah terbaik untuk kami.

Diospyros berasal dari kata deion yang berarti dewa dan puros, buah. Artinya, buah para dewa yang memiliki rasa istimewa. Mungkin karena itu kami selalu merasa menjadi pasangan yang istimewa saat berada di tempat Ibu.



Ibu? Ibu adalah satu pohon Eboni rimbun di tepi sungai Lara; tempat kami tertawa, menangis, berdebat dan membagi mimpi setinggi langit dan bintang



Dia masih bergeming disini.

Berhadap-hadapan dengan Eboni kami.

Menikmati temaram senja.

Dia begitu ceria,

seolah-olah dia adalah kami, seumpama dia sedang ada disampingku.

Seperti ritual tiap senja.





Lihat kami Ibu Eboni, hingga kinipun kami tetap setia pulang padamu,

Kami anak-anak yang tak pernah lupa pulang ke rumah.

Kami anak yang manis bukan?





Aku tersenyum manis, memaknai angin senja yang lembut menyentuh rambutku.

Sudah sekian lama, pipiku masih saja tetap bersemu merah tanpa permisi jika dia memandangku seperti itu. Pandangan yang menggodaiku hingga malu. Untunglah rona semburat merah seolah memantul dengan sempurna disini, menyembunyikan rona merah malu ini.



Aku menangkap ujung mata dan sunggingan senyumnya dan senja ini jadi begitu indah. Tanpa penjelasan, tanpa ada pertanyaan,

Kami menikmati keheranan satu-dua katak yang memelototi kami.

Tubir sungai, suara air kejar-kejaran.

Dia, aku, Ibu Eboni dan lagi-lagi senja ini sangat indah.





Dia menyentuh ukiran di pokok Eboni.

Jari jemari yang sangat ku kenal itu menelusuri ukiran inisial nama kami.

Aku melihat gumaman itu “aku slalu rindu kamu meilan”, bisiknya pada Ibu Eboni.

Ada bening yang hampir tumpah saat dia memandangku. Menelan gejolak rasa, membayang semua kenangan namun alih-alih menangis dia malah tetap tersenyum.



Waktu berputar, berpilin menembus batas akan dan nalar





*****





“Meilan, aku ukir namamu disini ya.”, pintanya dalam manja penuh semangat senja itu.

Lalu aku mengukir namanya tepat disampingku.

Meilan - Mohammad



“Ibu Eboni, tidak sakit kan.. aku mengukirnya dengan sepenuh cinta koq”,

bujuk ku sambil mengelus lembut batang pohon Eboni.

Aku ingat alasannya membujuk ku mengukir nama disitu, supaya Ibu Eboni tidak kesepian. Supaya cinta kami dapat menemani Ibu Eboni tanpa henti, bukan hanya kala senja.



Aku menggenggam tanggannya erat kala senja semakin sempurna.

Terekam benar senja itu:

Ada semburat merah di ufuk barat

Ada lembayung senja di garis kaki langit

Dan ada dia, sejauh genggaman tangan

Indah.



“Ayo berdoa Moha, ayo.. pejamkan matamu anak manis..”, aku memimpin doa kami tiap senja. Syahdu. Doa yang sama yang membuat Ibu Eboni hapal ejaan kata demi kata doaku. Ini bagian dari ritual senja kami.



“Tapi sayang.. Bagaimana dengan orangtua kita? Lalu bagaimana.”, pertanyaannya kugantung di udara. Ku kecup ringan bibirnya dan mengisyaratkannya untuk meneruskan doa.



Tanpa perintah,

Tanpa pertanyaan,

Hanya atas dasar keyakinan cinta

Aku sangat yakin cinta kami melebihi rintangan yang membatu.



Aku menggandeng tangannya pergi meninggalkan Ibu Eboni, tapi dia tidak sendirian lagi. Ada ukiran nama kami disitu hingga senja esok kami menyapanya lagi dengan segudang cerita





***





Hari ketujuh di bulan September.

Senja yang ketujuh.

Aku tau benar, dia masih menggenggam tanganku erat di depan Ibu Eboni.

Aaaahh.. rumput bak terbakar api cemburu melihat genggaman tangannya.

Aaahh, induk pipit yang menyuapi anak kesayangannya sempat melirik ke arah kamu

Ritual tiap senja.



Hangat genggamannya masih sama, tapi ada yang lain.

Ada sesak yang aneh di dada ku.

Aku melihatnya, ada bongkahan bening yang pecah dari matanya. Satu, satu bulir air mata itu jatuh dari pipinya.

Aku tak tau, aku tak tahan.. entah ini airmatanya yang keberapa kali dalam hari-hari ini



Tiba-tiba semua ingatan itu berteriak di kepalaku

Aku ingat !!

Ini hari ketujuh sejak dia terakhir kali mengunjungi Ibu Eboni

Ini hari ketujuh sungai airmataku meluap bersamanya, meluap diam-diam

Ini hari ketujuh sejak aku pergi, meninggalkannya

Ini hari ketujuh sejak aku hanya mampu melihat tanpa menyentuhnya



Senja ini makin paripurna

Merahnya sempurna

Semilir angin seakan memainkan waktu. Dingin menyergap relung hati paling dalam.



Ukiran nama ku semakin memudar.

Dada ku sakit, menusuk tajam.

Tubuh ku dingin, menggigil resah



Genggaman tanganmu masih terasa.

Genggam tanganku masih kau pinta

Aku tidak gila.

Aku hanya kasat mata



“Aku slalu mencintai mu Moha.. Sayang…”, ku kecup pipinya terakhir kali, lalu aku menghilang bagai buih sabun.





Ukiran namaku pudar sempurna, tak tersisa.

Sudah saatnya.





2 September 2010